Teknis Pelaksanaan MBG Memang Perlu Dievaluasi, Termasuk Penentu Kebijakan Patut Mengundurkan Diri


Teknis Pelaksanan MBG Memang Perlu Dievaluasi, Termasuk Penentu Kebijakan Patut Mengundurkan Diri

Oleh : Jacob Ereste
Wartawan Lepas

Masalah keracunan makan bergizi gratis (MBG) yang marak terjadi di berbagai daerah dan tempat itu jelas disebabkan oleh teknis pelaksanaan MBG yang tidak profesional dalam melaksanakannya yang cuma ambisi untuk melakukannya guna mendulang untung dari pekerjaan yang lebih bersifat sosial.

Laporan dan tampilan Wakil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Nanik S. Deyang yang memohon maaf atas kejadian tragis itu, lebih ideal diiringi dengan pengunduran diri untuk menebus rasa bersalah yang sangat berat untuk dimaafkan itu. Sebab sejak semula, teknis pelaksanaan MBG yang terbaik itu memberikan kepercayaan kepada pihak sekolah bersama perangkat pemerintahan desa, (kecamatan) setempat menunjuk tim relawan yang melibatkan warga masyarakat dengan kontrol yang dilakukan secara bersama petugas yang cukup ditunjuk oleh pemerintah.

Karena pengelolaan MBG itu terkesan sepele, tapi tidak gampang, sebab kerja tim pelaksana lapangan yang independen dan bersifat sosial itu memerlukan kesadaran untuk mengabdi, sehingga tidak untuk mencari keuntungan (benefit oriented). Sehingga menu sajiannya pun, tidak asal-asalan, karena akan selalu diusahakan yang terbaik dan yang paling bermutu, seperti menggunakan stok telor ayam yang sudah kadaluarsa misalnya, karena terlalu lama menumpuk di gudang tengkulak yang hendak ikut bermain dalam meracik dana MBG yang ujungnya tidak seberapa nilainya ketika harus terbilang pada satuan anak didik yang menikmatinya.

Kejanggalan kejadian di berbagai tempat MBG dilaksanakan, sudah terbukti tidak hanya masalah menu sajian yang menimbulkan masalah, mulai dari keracunan hingga tak hendak dimakan oleh anak-anak yang berhak menyantapnya. Bisa jadi secara kesehatan makanan sajian gratis itu cukup sempurna — setidaknya layak untuk di makan — tapi bisa juga cara mengolahnya, menyajikannya — sehingga di beberapa sekolah harus direpotkan untuk ikut mengumpulkan kembali peralatan makan dan minum yang sudah digunakan itu — hanya untuk kepentingan pihak penyelenggara yang menerima order dengan orientasi hanya untuk dan demi memperoleh keuntungan semata. Lebih dari itu, umumnya mereka tidak pedulikan

Sebagai contoh tadi — yang telah melibatkan pihak sekolah untuk ikut mengumpulkan peralatan makan dan minum yang sudah digunakan untuk digunakan kembali oleh pihak pelaksana MBG — Jelas sangat merugikan pihak sekolah, karena akan mengganggu pelaksanaan mengajar yang pasti akan mengganggu proses belajar itu sendiri untuk anak-anak.

Karena itu sejak awal — jauh sebelum teknis pelaksanaan MBG dilakukan — yang dimulai dengan uji coba tanpa pernah secara resmi untuk dimulai pelaksanaannya, sudah diusulkan untuk dikelola oleh warga masyarakat disekitar sekolah yang hendak menerima MBG itu dengan fungsi kontrol maupun pengarahan dari pemerintah sambil mendengar juga usul dan saran dari pihak sekolah, bagaimana teknis pelaksanaan MBG itu agar dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Yaitu, anak-anak cukup memiliki energi yang ditopang oleh gizi yang disediakan oleh pemerintah dalam bentuk MBG, namun dalam teknis pelaksanaannya tidak sampai mengganggu proses ajar mengajar, baik bagi para murid maupun bagi para guru atau tenaga pengajar di sekolah yang bersangkutan.

Tawaran kedua — seperti yang juga diusulkan oleh Atlantika Institut Nusantara (sebuah lembaga penelitian, kajian dan pusat data) agar pelaksanaan MBG itu diberikan langsung kepada setiap orang tua murid dengan memberi petunjuk jadual sajian menu yang diperlukan untuk setiap hari, sehingga tingkat kebocoran dana MBG pun dapat minimal atau bahkan ditekan sampai titik nol. Jadi memang tak ada satu pihak pun yang bisa mencari keuntungan dari cara penyaluran dana langsung kepada para orang tua murid yang menyediakan bekal seperti yang bisa ditunjuk atau ditentukan oleh pihak pemerintah — pengelola MBG maupun BGN.

Alternatif dia pilihan yang sudah pernah ditawarkan ini kepada pemerintah dimaksudkan agar pelaksanaan MBG dapat berjalan lancar. Bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Bisa lebih bermanfaat. Bisa memberi nilai tambah bagi warga masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan MBG dan menyenangkan pihak sekolah — tak hanya bagi para murid, tetapi juga bagi para guru dan pengelola sekolah yang bersangkutan. Sebab, bagaimana mungkin murid yang bergizi bisa menerima pelajaran dengan baik dari para guru yang tidak bergizi, atau bergizi rendah. Karena gaji seorang guru pun terbilang pas-pasan saja, jika tidak bisa disebut sangat kurang nilainya. Sebab dari pihak guru dan keluarganya pun mempunyai banyak keperluan, termasuk untuk memfasilitasi anak-anaknya sendiri untuk sekolah dengan yang baik. **

Banten, 27 September 2025
—-

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!