Untuk Memperbaiki Kerusakan Negeri Ini, Harus Dilakukan Bersama Pemimpin Yang Memiliki Kecerdasan Spiritual


Untuk Memperbaiki Kerusakan Negeri Ini, Harus Dilakukan Bersama Pemimpin Yang Memiliki Kecerdasan Spiritual

Oleh : Jacob Ereste
Wartawan Lepas

Pengembaraan dalam perjalanan spiritual — mendekatkan diri kepada Tuhan — bukan hanya masalah ibadah, tetapi tentang kebersihan hati dan jiwa, jujur dan ikhlas dalam keutuhan integritas hidup sehari-hari. Karena itu sikap dan sifat yang konsisten — batin maupun proses dalam pencapaian laku spiritual menjadi prasyarat yang tidak bisa ditawar-tawar. Sehingga sifat dan sikap egoistik, kemaruk dan rakus dapat diatasi dengan kemampuan dalam pengendalian diri, sehingga tidak akan memaksakan diri untuk menggamit hal-hal yang bukan hal untuk dimiliki atau dikuasai.

Begitulah etika — sebagai landasan pijak pertama untuk menjaga perilaku yang buruk agar tidak dilakukan, apalagi harus tergelincir pada tindak kejahatan seperti korupsi, menyalahgunakan wewenang apalagi khianat pada tujuan luhur berbangsa dan bernegara yang harus dibingkai oleh persatuan dan kebersamaan senasib dan sepenanggungan. Sehingga nilai-nilai kebangsaan dan kenegarawanan dapat terjaga dalam melaksanakan fungsi atau tugas yang diamanahkan oleh rakyat.

Realitasnya sekarang ini justru sebaliknya, kepentingan pribadi, kelompok dan keluarga dijadikan tujuan utama, sehingga mengabaikan — atau bahkan– menggagahi kepentingan orang banyak atau rakyat yang sepatutnya diutamakan dengan cara mengayomi, melindungi dan melayani kepentingan orang banyak.

Itulah sebabnya ketika ada aparat negara yang berlaku dan bertindak semena-mena terhadap rakyat, dia pantas dikutuk dan disumpahi agar mendapat balasan yang setimpal dari karma yang ditimpakan kepadanya. Sebab hukum formal tidak dianggap berlalu bagi mereka yang merasa memiliki kekuasaan atas segala urusan di negeri ini.

Setidaknya, bila etika sebagai landasan pertama untuk menjaga perilaku buruk tidak sampai terjadi, maka tataran moral sebagai sikap hidup yang menjaga integritas diri serta rasa tanggung jawab atas dasar kesadaran sosial yang terjaga, semestinya perilaku buruh dari aparatur negara terhadap banyak hal tidak akan dilakukan.

Demikian juga dengan akhlak mulia — sebagai penopang utama laku spiritual yang baik dan benar — sebagai puncak dari cahaya karakter dalam perilaku yang baik dan terpuji, hanya mungkin terjadi dan terjaga oleh kesadaran batin yang tulus dan ikhlas untuk tidak mengedepankan egosentrisitas yang acap muncul diluar kendali bagi mereka yang tidak mendalami laku spiritual yang sangat diperlukan untuk menata bangsa dan negara ini. Karena itu, sosok pemimpin yang memiliki kecerdasan spiritual yang mampu membenahi kebobrokan etika, moral dan akhlak para pengelola negeri ini.

Penyelewengan aset, pengurasan sumber daya alam, penggalan dana proyek pembangunan serta perilaku kemaruk dan serakah yang terus mengemuka dan telah menjadi semacam mode untuk berlomba memperkaya diri dengan mengabaikan hak orang lain, seperti telah menjadi budaya yang tidak lagi memalukan untuk dilakukan.

Fenomena dari perilaku korupsi yang terus bermunculan di semua bidang pekerjaan — tidak kecuali pada wilayah pendidikan dan keagamaan — terus terjadi dan semakin membingungkan bagi siapa saja yang tidak ingin ikut serta melakukannya.

Begitu juga dengan fenomena korupsi dan suap yang sudah merambah dan merayah wilayah hukum dan peradilan sungguh luar biasa biadabnya perbuatan itu dilakukan tanpa pernah merasa betapa besar dosa yang harus mereka tanggung akibatnya, lantaran telah merusak sendi-sendi kehidupan yang paling fatal sifatnya.

Gerakan kebangkitan kesadaran dan pemahaman spiritual yang telah digaungkan GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia) sejak semasa Gus Dur dan Susuhunan Paku Buwono XII masih hidup, kini dilanjutkan oleh Sri Eko Sriyanto Galgendu bersama Pembina Utama GMRI, Dr (Hc) KH. Muhammad Habib Khirzin serta tokoh agama lainnya untuk membenahi cara tata kelola negeri ini yang harus didekati dengan nilai-nilai spiritual yang pasti akan mengedepankan etika, moral dan akhlak para penyelenggara negara dan pemerintahan yang tampak abai pada nilai-nilai spiritual. Karena esensi dari spiritual bukan cuma sekedar pengalaman batin atau ritual belaka, melainkan juga sebagai jalan hidup yang mensyaratkan kebersihan hati, kejujuran jiwa serta sikap ikhlas untuk berbuat bagi orang banyak, yaitu segenap warga bangsa Indonesia yang sudah sejak lama mendambakan bebas dari kemiskinan dan bebas dari kebodohan.dan untuk menggapai semua itu, rakyat harus merasakan secara nyata kesejahteraan yang berkeadilan, seperti kesepakatan saat proklamasi negeri ini dikumandangkan pada 80 tahun silam.

Karena itu untuk memperbaiki berbagai kebobrokan yang terjadi di negeri ini agar bebas dan merdeka dengan penuh kedaulatan, mandiri secara ekonomi dan berkepribadian yang teguh dan handal sehingga disegani oleh kawan dan lawan — utamanya bangsa asing yang terus merangsek untuk menguasai negeri ini — hanya mungkin ditegakkan oleh dasar etika yang kuat, moral yang tangguh hingga akhlak mulia yang memiliki cahaya ilahi seperti yang telah dianugerahkan oleh Tuhan kepada manusia sebagai khalifatullah di bumi. Dan negeri kita pun — Indonesia — adalah surga yang patut dinikmati bersama seluruh rakyat, tanpa keculasan dan ketamakan untuk menguasai dan memilikinya secara pribadi atau perseorangan, seperti cenderung terjadi seperti sekarang.**


Banten, 8 Oktober 2025
—-

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!