Membangun Generasi Cerdas dan Tangguh: Gizi,Pendidikan,dan Spirit Al-Zaytun Menuju Indonesia Emas 2045

Membangun Generasi Cerdas dan Tangguh: Gizi, Pendidikan, dan Spirit Al-Zaytun Menuju Indonesia Emas 2045


Penulis : Dr.Ali Aminulloh
( Dosen IAI Al Zaytun Indonesia )


Mahad Al-Zaytun menunjukkan konsistensinya dalam membangun kualitas pelaku didik yang mumpuni. Betapa tidak? Karena pelaku didik merupakan garda terdepan dalam mewujudkan transformasi revolusioner pendidikan berasrama demi terwujudnya Indonesia modern di Abad XXI dan 100 tahun usia kemerdekaan. Pendidikan modern yang digagas Syaykh Al-Zaytun, AS Panji Gumilang adalah berbasis LSTEAM (Law, Science, Technology, Engineering, Art, and Mathematic). Kegiatan pelatihan pelaku didik ini telah dimulakan sejak 1 Juni 2025 dan kini memasuki pekan ke 10. Sub tema yang dibawakan adalah berkait dengan Peran Gizi, Pangan, dan Kesihatan dalam mewujudkan generasi cerdas disampaikan oleh Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS, Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB University Bogor. Sub tema ini berkait dengan Sains, yaitu bagaimana pemakanan fungsional manusia dikaji secara saintifik.


Ilmu Gizi, Pendidikan, dan Spirit Peradaban
Dalam suasana yang hangat dan penuh semangat, Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS—guru besar IPB University sekaligus Presiden International College of Nutrition—mengawali kuliah umumnya di Pelatihan Pelaku Didik Berkelanjutan di Al-Zaytun dengan gaya yang unik. Ia menyapa hadirin bukan hanya dengan data, tetapi juga dengan pantun, candaan, dan narasi keseharian yang menyentuh. Namun di balik gaya penyampaiannya yang santai, mengalirlah substansi yang mendalam tentang peran vital gizi dan kesehatan dalam pembangunan generasi emas Indonesia.
Indonesia Emas 2045 adalah visi Indonesia jangka panjang untuk mencapai status negara maju, berdaulat, adil, dan berkeadilan pada tahun 2045. Misi – ASTA CITA pemerintahan Prabowo no. 4 memperkuat pembangunan sumber daya manusia (SDM). Target tahun 2045 adalah daya saing sumber daya manusia meningkat. Salah satu wujudnya meningkatnya usia harapan hidup (HPP). Usia harapan hidup Indonesia baru mencapai 70 masih jauh dibanding Negara-negara di Asia. Peningkatan UHH sebagai akibat dari pemenuhan kebutuhan gizi, ketahanan pangan, dan per baikan Kesehatan.UHH yang tinggi dan sehat, meningkatkan karya dan produktifitas usia lanjut, tabungan dan pertumbuhan ekonomi
Menurut Prof. Hardinsyah, salah satu indikator kemajuan bangsa adalah Global Innovation Index. Indonesia baru menempati rangking ke 75 dari 132 negara yang diukur. Sayangnya, peringkat Indonesia masih berada di bawah negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, hingga Korea Selatan. Ia menyimpulkan bahwa daya saing Indonesia rendah karena rata-rata lama sekolah dan mutu kesehatan masyarakat masih tertinggal. Namun ia optimistis, Indonesia punya potensi besar—apalagi dengan hadirnya lembaga seperti Al-Zaytun yang sejak lama telah berkontribusi konkret dalam membangun SDM berkualitas.
Al-Zaytun, menurutnya, bukan hanya sekadar lembaga pendidikan. Ia menyebutnya sebagai pelopor dalam implementasi sistem pangan berkelanjutan, bahkan telah menerapkan prinsip ekonomi sirkular dalam penyediaan makan bergizi gratis (MBG) sebelum program ini diwacanakan secara nasional. Dari ayam ternak, padi, hingga pengolahan limbah—semuanya terintegrasi. Sebuah sistem mandiri yang tidak hanya menyelamatkan generasi, tetapi juga menginspirasi bangsa.

Mendidik dengan Cinta, Menyuburkan dengan Gizi
Prof. Hardinsyah mengurai bahwa kualitas manusia tidak hanya ditentukan oleh pendidikan formal, tetapi juga dari aspek yang sering terlupakan: asupan gizi sejak dalam kandungan. Ia menegaskan, janin yang kekurangan nutrisi akan memiliki cetak biru penyakit masa depan, termasuk diabetes, hipertensi, dan gangguan metabolik. Maka, menjaga gizi sejak 1.000 hari pertama kehidupan menjadi keniscayaan untuk mencetak generasi unggul.
Ia mengapresiasi pola makan yang diterapkan Al-Zaytun berdasarkan prinsip The Power of Enzyme yang mengedepankan kunyahan lambat, konsumsi buah di awal, dan kombinasi pangan alami. “Kunyah 100 kali seperti jumlah Asmaul Husna? Itu luar biasa,” katanya sambil tersenyum. Ia menekankan bahwa bukan hanya apa yang dimakan, tapi bagaimana cara makan itulah yang menentukan kualitas pencernaan dan daya serap nutrisi. Pola ini, menurutnya, sangat ilmiah, meski belum banyak diketahui publik.
Dalam diskusi interaktif, ia menekankan pentingnya pembentukan otot melalui aktivitas fisik sederhana seperti plank atau push-up, terutama bagi siswa usia tumbuh. “Anak kurus belum tentu sehat jika tak berotot. Anak gemuk pun belum tentu kuat jika tidak dibina kebugarannya,” ujarnya. Ia menyarankan agar Al-Zaytun melakukan assessment status gizi dan kebugaran secara rutin untuk memetakan kebutuhan intervensi makanan dan aktivitas santri.

Sinergi Spirit, Sains, dan Kedaulatan Pangan
Menjawab pertanyaan para pengelola pendidikan Al-Zaytun, Prof. Hardinsyah menegaskan bahwa pemetaan status gizi bisa dimulai dengan hal sederhana: pengukuran tinggi dan berat badan, lalu dilanjutkan dengan pemeriksaan hemoglobin dan evaluasi kebugaran fisik. Untuk skala besar, ia menyarankan metode subsampling—mengevaluasi sebagian representatif untuk memetakan kebutuhan intervensi seluruh santri. “Assessment bukan untuk mencari masalah, tapi untuk merancang solusi,” tegasnya.
Lebih jauh, ia menyoroti pentingnya diversifikasi sumber protein seperti telur, ikan patin, ayam, belut, dan bahkan telur ikan. Semua ini bukan sekadar makanan, tapi bahan bakar kecerdasan. Ia menyebut bahwa omega-3 dari belut lokal tidak kalah dari salmon Norwegia. “Tuhan menciptakan sumber pangan sesuai habitat manusia. Di Eropa ada salmon, di pesawahan ada belut. Tidak perlu impor untuk cerdas,” katanya.
Al-Zaytun dinilai sebagai pelopor kedaulatan pangan berbasis pendidikan. Dengan peternakan ayam yang memproduksi ribuan ekor per bulan, pengelolaan dapur kolektif, hingga kapal perikanan mandiri yang telah disiapkan, sistem pangan Al-Zaytun menjadi model integratif yang layak dicontoh nasional. “Jika disosialisasikan dengan tepat, Al-Zaytun bisa menjadi pionir gerakan gizi nasional,” ujarnya. Ia bahkan menyarankan agar informasi ini dibuka ke publik untuk menginspirasi dan menjadi best practice nasional, tentu tanpa harus jatuh pada sikap ria.

Epilog: Mendidik Bukan Hanya Mengajar, Tapi Menumbuhkan
Di akhir kuliah umumnya, Prof. Hardinsyah mengajak semua hadirin untuk melihat pendidikan sebagai investasi jangka panjang, bukan sekadar kewajiban administratif. “Anak yang sehat, cerdas, dan kuat tidak lahir dari sistem yang terburu-buru. Ia lahir dari cinta, ketelatenan, dan makanan yang layak,” ujarnya penuh haru. Ia menyentuh sisi spiritual dan moralitas ketika menyebut bahwa usia panjang seharusnya bukan sekadar untuk hidup, tetapi untuk menjadi inspirasi bagi generasi muda.
“Orang tua yang sehat dan panjang umur bisa menjadi guru tanpa gelar. Menjadi teladan tanpa panggung. Menjadi penuntun tanpa suara lantang,” katanya. Kalimat itu seakan menjadi penutup yang membuka cakrawala: bahwa di tengah gempuran zaman, kita tetap memerlukan manusia yang tumbuh dengan nutrisi, ilmu, dan nurani.
Di Al-Zaytun, semua itu sedang tumbuh bersama. Perlahan, dalam diam, tetapi pasti. Menuju 2045, menuju Indonesia Emas yang bukan hanya modern secara teknologi, tetapi matang secara jiwa.(*)


Indramayu, 3 Agustus 2025

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!